Rabu, 26 November 2025

Robohnya Surau Kamai

Gambar hanya ilustrasi Sumber : Youtube

Mengenang pada pertengahan tahun 80-an, hampir setiap sore terdengar ramai suara riuh riang anak-anak bermain di tengah lahek Dasira. Ada yang bermain kelereng, main jaksin, main congkak/congklak, main lompat kajai, main sagilin, dan masih banyak lagi permainan anak-anak pada masa itu. Indahnya masa-masa itu. Kedamaian dan keceriaan terpancar di wajah anok lahek.

Anak-anak main di tengah lahek karena itu tanah kosong dan lapang tidak ada bangunan rumah dibangun di area itu, karena tatanan rumah dahulu berkonsep umoh jajou [rumah berjajar, rumah panggung bersambung antara satu rumah dengan yang lain dan terdapat pintu penghubung]. 

Umoh jajou dalam sehari-hari masyarakat menyebutnya umoh lahek [rumah berderet, karena dibangun diatas tanah empat persegi panjang atau disebut dengan Parit Bersudut Empat]. 
         
Ciri rumah dalam parit bersudut empat ini memiliki ukuran yang sama serta tidak memiliki pekarangan. Yang berhak mendapat ajun arah untuk membangun dan menempati rumah dalam parit bersudut empat hanya anak kemenakan yang perempuan dari garis keturunan ibu (matrelinial) yang telah mengisi cupak dengan gantang dan menghanguskan emas yang lima kupang (sudah berumah tangga) dan belum pernah diajun dan arah sebelumnya. 

Dalam luhah Datuk Singarapi Putih (Dasira), rumah dalam Parit Bersudut Empat ini dihuni oleh beberapa keluarga disebut pintu, gabungan beberapa pintu disebut perut. Luhah Dasira terdiri dari dua Perut dan empat Pintu, setiap pintu dipimpin oleh seorang Ninik Mamak. Kata lahek juga digunakan untuk menunjuk wilayah hukum adat di Sungaipenuh, seperti; lahek tengoh, lahek iyon, dan lainnya. 

Ketika senja tiba, anak-anak pun usai bermain. Lalu kami pulang ke rumah masing-masing membersihkan diri, salin baju bersih, menyelempangkan kain sarung, pakai kopiah dan berangkat ke Mushalla Dasira untuk menunaikan Sholat maghrib berjamaah.

Teman bermain di waktu sore adalah teman mengaji di malam hari. Ungkapan ini ibarat aturan yang tidak tertulis yang disampaikan secara "pesan dendam" oleh orang tua-tua dahulu. Jika ada yang tidak ikut sholat berjamaah dan mengaji, maka dia akan ditegur/dimarahi oleh mamaknya. Itulah bentuk tanggung jawab seorang mamak/tengganai terhadap anak dan keponakan dalam mendidik dan menanam nilai-nilai ajaran agama Islam. 

Seorang tengganai yang memegang Sko sudah barang tentu dia berakhlak mulia, bisa membaca Al-qur'an dan paham ajaran agama islam. Karena dalam menjalankan fungsinya [sebagai mandataris sko tigo takah] ia berpagang teguh pada falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullaah. Adat bersendi (berdasarkan) syariat islam, dan syariat islam bersendi pada Al-Qur'an.

Selain bermain di tengah lahek, ada sebuah bangunan kosong berdinding papan dan beratapkan seng, dulu menjadi tempat kami bermain. Bangunan itu sudah lama terbengkalai karena tidak terawat. Bangunan itu pernah juga menjadi gudang tempat penyimpanan padi/beras milik Bulog. Dan pernah menjadi Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada saat Pemilu tahun 80-an. Dari cerita turun temurun, seringkali Ku dengar bahwa bangunan itu dulunya adalah SURAU.
Dokumen Penetapan Khatib Luhah Datuk Singarapi Putih
oleh Pemerintah Belanda Tahun 1922

Lalu Ada yang bertanya, "Apakah Surau itu adalah Surau milik Dasira?" Ternyata bukan. Surau itu bukan milik Dasira sahaja, tetap juga milik umat muslim. Karena tanah itu merupakan WAKAF yang diniatkan untuk mendirikan SURAU tempat beribadah umat muslim di luhah Dasira. Atas kesepakatan bersama masyarakat pada saat itu, mengangkat Nunyan menjadi Khatib di luhah Dasira. Dan pada tanggal 11 Februari 1922 kesepakatan itu mendapat legalitas dari Pemerintah Belanda. Dokumen asli yang dicap dan ditandatangani oleh Assistent Resident van Kerintji tersimpan rapi bersama EXTRACT salinan putusan pengadilan tahun 1937 yang memenangkan Ngabi Yong (nantan kamai), dalam perkara sengketa tanah, masih tersimpan rapi dan "rapat-rapat" dalam peti besi.

Umoh Gdeang Dasira, tampak dalam.

Surau itu bernama SURAU PERDAMAIAN. Dengan semangat perdamaian jama'ah memakmurkan surau sehingga jama'ah pun ikut sejahtera. Sekarang, surau itu sudah tidak ada lagi. Surau itu kini telah bertransformasi menjadi gedung megah. Berdiri kokoh sebagai simbol eksistensi Luhah Datuk Singarapi Putih. Itulah UMOH GDEANG LUHAH DATUK SINGARAPI PUTEH.   

Dengan keberadaan gedung megah itu apakah "jama'ah" luhah Dasira sejahtera? Semestinya, iya. Kan ada empat pintu sumber ekonomi di "surau" itu. Dan lagi "Surau" itu berada di tengah-tengah pusat perekonomian kota Sungaipenuh.  Sudah barang tentu banyak pihak yang tergiur menguasai wilayah itu. 

Pusat Bisnis Lt. 1 Umoh Gdeang Dasira

Apakah semangat "PERDAMAIAN" masih membara dari "surau" itu? 

Lalu, mengapa surau itu diberi nama SURAU PERDAMAIAN?

Akan banyak muncul pertanyaan lain. Akan banyak pula hati yang tak bisa menerima kebenaran dan kenyataan.

Pepatah adat mengatakan, diidin diteladan, setiap pekerjaan dilihat pada yang sudah-sudah  dan yang terbaik dijadikan contoh.

Tak elok dan tak pantas jika sekarang kita mencari-cari dalih, memutar balik fakta dan kebenaran, mencari-cari kesalahan orang lain, mengacau dan merusak kedamaian yang pernah ada. Bak Pematang nan bersiku tanjung nan berbelit.

Surau itu hanya tinggal kenangan. Riuh riang, gembira, gelak tawa, canda dan ceria anok lahek sudah sirna seiring robohnya simbol perdamaian, SURAU PERDAMAIAN.

Walloohu a'lamu bishawab.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar